Contoh Karangan Narasi tentang Pendidikan – Karangan narasi yaitu goresan pena atau karangan yang dibungkus sesuai kronologi waktu dari awal, tengah, dan simpulan,serta bertujuan untuk memperluas wawasan dan menghibur pembaca. Karakteristik dalam karangan narasi ialah adanya beberapa tahapan seperti orientasi, klimaks, reorientasi, pertentangan, dan solusi dilema. Pada kesempatan kali ini akan disuguhkan beberapa pola karangan narasi bertemakan pendidikan. Selamat menyimak! 1. Bapak Pendidikan Nasional Dunia pendidikan akan senantiasa berterimakasih terhadap jasa tokoh aktivis pendidikan semenjak zaman penjajahan Belanda. Beliau ialah Ki Hajar Dewantara. Perjuangan beliau ketika zaman penjajahan Belanda ialah semoga rakyat pribumi dapat memperoleh hak pendidikan seperti hak para priyayi maupun orang-orang Belanda. Perjuangannya inilah yang menciptakan beliau dinobatkan sebagai Bapak Pendidikan Nasional dan hari kelahirannya diperingati selaku Hari Pendidikan Nasional. Ki Hajar Dewantara lahir pada tanggal 2 Mei 1889 di Yogyakarta. Nama kecil ia yaitu Raden Mas Soewardi Soeryaningrat. Di kurun mudanya, Ki Hajar Dewantara aktif dalam organisasi sosial politik. Beliau senantiasa memberikan sosialisasi dengan tujuan membangkitkan kesadaran penduduk akan pentingnya persatuan dan kesatuan berbangsa bernegara. Ki Hajar Dewantara mulai aktif dalam pendidikan ketika ia diasingkan di Belanda. Dalam abad pengasingan, dia berguru ilmu pendidikan hingga menemukan gelas Europeesche Akte. Gelar ini menjadi berkhasiat saat tahun 1919 ia kembali ke Indonesia dan berlatih menjadi guru. Langkah besar beliau adalah saat mendirikan sekolah Perguruan Nasional Taman Siswa pada tanggal 3 Juli 1992. Banyak hambatan dan rintangan yang diluncurkan oleh pemerintah Belanda terhadap dia. Akan namun dia tetap memperjuangkan pendidikan. Hingga ia menciptakan semboyan yang populer hingga sekarang. Tut Wuri Handayani (di belakang memberi dorongan). Ing Madya Mangun Karsa (di tengah menciptakan potensi untuk berprakarsa). Ing Ngarsa Sungtulada (di depan memberi contoh). Semboyan ini kemudian dipakai sebagai slogan Kementerian Pendidikan Nasional. 2. Hikmah Disiplin dalam Belajar Rani ialah anak ketiga dari lima besaudara. Ayah Rani adalah seorang prajurit angkatan darat. Mereka sekeluarga tinggal di rumah dinas khusus TNI. Ayah Rani selalu mengajarkan kedisiplinan dalam segala hal. Mulai dari disiplin dalam beribadah, displin dalam beraktivitas, disiplin dalam berolahraga, dan disiplin dalam belajar. Ketegasan ayah Rani dalam menerapkan kedisiplinan bukan berarti membuat anak-anaknya merasa was was. Hubungan antara ayah dan anak di antara mereka terjalin sungguh serasi. Rani dan semua saudaranya diajarkan untuk selalu mencar ilmu di siang hari. Setelah pulang sekolah, ayah Rani mengajarkan untuk selalu melakukan semua peran rumah yang diberikan pada hari itu. Akan tetapi aktivitas itu harus dilaksanakan sesudah mereka menyantap makan siang. Ketika pekerjaan sekolah telah selesai maka ayah membebaskan Rani dan saudara-saudaranya untuk bermain. Dan malam harinya, ayah mengharuskan untuk berguru dari ba’da isya sampai pukul 09.00 WIB. Semua kedisiplinan ini tidaklah memberatkan bagi Rani. Bahkan kebiasaan ini justru menjinjing pesan yang tersirat yang luar biasa. Daerah kawasan tinggal Rani ialah tempat yang masih sukar listrik. Listrik di tempat itu mampu saja mati selama sehari penuh sarat atau bahkan sampai tiga hari. Pernah sebuah ketika listrik padam di malam hari sampai menjelang subuh. Pada hari itu ada peran sekolah yang sungguh banyak bagi Rani dan teman-temannya. Ketika sesampainya di sekolah nyaris semua sobat-teman Rani mengeluh tidak mampu melaksanakan tugas karena listrik padam. Akan namun hal tersebut tidak terjadi pada Rani. Rani telah siap dengan semua tugas untuk hari itu. Rani pun bercerita kepada guru dan semua sahabat-temannya bahwa dia senantiasa dibiasakan menjalankan tugas sekolah saat siang hari. Alhasil ketika suatu ketika listrik padam di malam hari Rani tidak kebingungan sebab belum melaksanakan tugas sekolah. Inilah pesan tersirat dari kedisiplinan dalam mencar ilmu. 3. Aku Menyesal Tak Berilmu Sekarang usiaku menginjak 33 tahun dan saya hanya sebagai ibu rumah tangga. Tanpa penghasilan kecuali nafkah dari suami. Aku tidak memiliki penghasilan sendiri. Entah pekerjaan apa yang bisa saya lakukan. Bahkan ada yang lebih buruk dari itu, mengajari anak-anakku melakukan PR pun saya tidak bisa. Ketika mereka bertanya perihal materi sekolahnya, saya termenung seribu bahasa dan pada kesannya aku menyuruh mereka mengikuti bimbingan berguru. Mungkin bagi sebagian orang tutorial belajar yaitu aktivitas yang baik bagi belum dewasa. Tapi bagiku, dengan mereka ada aktivitas komplemen diluar maka makin sedikit waktu kebersamaan kami. Semua ini berawal dikala usiaku 11 tahun. Waktu itu saya duduk di kelas 5 Sekolah Dasar. Tidak seperti teman-temanku yang lain yang semangat bersekolah, aku merasa sungguh bosan di sekolah. Aku sering membolos keluar sekolah. Pergi ke sawah, sungai, atau justru ke pasar. Orang tuaku tidak mengenali semua itu. Mereka cuma tahu bahwa pagi hari saya berangkat ke sekolah dan siang harinya pulang. Adegan membolos ini aku kerjakan dalam jangka waktu yang lama. Sekitar dua bulan saya lebih sering berada di luar sekolah. Hal yang tidak baik akan sukar untuk ditutupi dalam jangka waktu yang lama. Hal ini pun terjadi padaku. Pihak sekolah balasannya menginformasikan kedua orang tuaku wacana kebiasaanku membolos. Orang tuaku terkejut bukan kepalang. Mereka murka besar. Bahkan ayah sampai memukulku. Tak usang berselang ibuku jatuh sakit. Kata ayah ibu sakit alasannya adalah memikirkanku. Aku mulai mengalah untuk terus bersekolah demi ibu. Tapi ayah selalu saja bersikap bergairah kepadaku sesudah peristiwa itu. Terlebih lagi nilai-nilaiku kurang membuat puas bagi ayah. Aku melanjutkan sekolah hingga lulus SD. Nilaiku pun tak cukup manis. Aku lalu mengutarakan kepada ayah bahwa saya tidak mau lagi sekolah. Aku tidak mampu lagi berguru. Bahkan aku tidak ada keinginan untuk berguru. Ayah dan ibu telah kehabisan akal membujukku untuk bersekolah. Alhasil muncul keputusan mengagetkan dari ayah. Beliau memutuskan untuk menikahkanku. Laki-laki berumur 29 tahun menjadi opsi ayah. Tidak terbayang olehku, menikah dengan laki-laki yang berjarak 17 tahun denganku. Tapi entah apa yang ada di pikiranku. Aku langsung menyetujui keputusan ayah. Menikah di usia belia kesannya menjadi jalan hidupku. Kini 21 tahun sudah berlalu, dan saya baru merasakan akhir tidak berpendidikan. Tidak berpendidikan sangat menyusahkan. Tidak akil justru membuat hidup serasa sengsara. Pendidikan SD tidak bisa menjamin kehidupan. Hidup tidak mampu cuma dibekali dengan kemampuan dasar membaca, menulis dan berhitung. Aku sungguh menyesal atas keputusanku 21 tahun silam. Andaikan saja dulu saya menuruti kata ayah dan ibu, pasti aku bisa sukses mirip teman-temanku kini. Bahkan saya bisa merasa bangga sebab mampu menjadi guru pertama bagi anak-anakku. Sekian beberapa pola karangan narasi ihwal pendidikan. Semoga lewat pola karangan tersebut dapat menolong Anda dalam memahami karangan narasi. Terima kasih. Sumber https://e-the-l.blogspot.com
Senin, 05 Oktober 2020
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
EmoticonEmoticon