Jumat, 17 Juli 2020

Pengertian Puisi Septima Dan Acuan Puisinya

Puisi gres merupakan puisi yang muncul setelah adanya efek sastra barat ke Indonesia. Salah satu diantara jenis-jenis puisi baru tersebut yaitu septima. Puisi ini ialah puisi yang tiap baitnya berisi 7 buah baris atau larik. Puisi ini tergolong ke dalam macam-macam puisi gres menurut bentuknya, selain contoh puisi distikon, pola puisi terzina, contoh puisi quatrain, pola puisi quint, dan juga teladan puisi sektet. Untuk mengetahui seperti apa bentuk puisi ini, berikut ditampilkan beberapa contoh puisi septima dalam bahasa Indonesia yang diambil dari aneka macam sumber! Contoh 1: Indonesia Tumpah Darahku* Karya: M. Yamin Bersatu kita teguh Bercerai kita jatuh Duduk di pantai tanah yang permai Tempat gelombang pecah berderai Berbuih putih di pasir terderai Tampaklah pulau di lautan hijau Gunung-gunung bagus rupanya Dilingkari air mulia tampaknya Tumoah darahku Indonesia namanya Lihatlah kelapa melambai-lambai Berdesir bunyinya sesayup hingga Tumbuh di pantai bercerai-cerai Memagar daratan kondusif kelihatan Dengarlah ombak datang berlagu Mengejar bumi ayah dan ibu Indonesia namanya, tanah airku Tanahku bercerai seberang-menyeberang Merapung di air, malam dan siang Sebagai telaga dihiasi kiambang Sejak malam diberi kelam Sampai bulan terang-benderang Di sanalah gerangan bangsaku gerangan menopang Selama berteduh di alam nan lapang Tumpah darah nusa India Dalam hatiku senantiasa mulia Dijunjung tinggi atas kepala Semenjak diri lahir ke bumi Sampai bercerai badan dan nyawa Karena kita sedarah sebangsa Bertanah air di Indonesia *Sumber: Dan Riris Istanti, Puisi: Indonesia, Tumpah Darahku, https://danririsbastind.wordpress.com/2010/03/16/puisi-indonesia-tumpah-darahku-m-yamin/ (diakses pada 8 Februari 2018 pukul 17.13) Contoh 2: Bayi di Dalam Kulkas* Karya: Joko Pinurbo Bayi di dalam kulkas mampu mendengarkan pasang-surutnya angin, bisu-kelunya malam, dan kuncup layunya bunga-bunga di dalam taman. Dan setiap orang yang mendengar tangisnya menyampaikan, “Akulah Ibumu. Aku ingin menggigil dan membeku bersamamu.” “Bayi, nyenyakkah tidurmu?” “Nyenyak sekali, Ibu. Aku terbang ke langit, ke bintang-bintang, ke cakrawala, ke detik penciptaan berssama angin dan awan dan hujan dan kenangan.” “Aku ikut. Jemputlah saya. Bayi. Aku ingin melayang dan melayang bersamamu.” …………………………………… (1995) *Sumber: Joko Pinurbo, Selamat Menunaikan Ibadah Puisi, hlm 12 Contoh 3: Sudah Saatnya* Karya: Joko Pinurbo Sudah saatnya jam yang rusak diperbaiki. Kita pergi ke bengkel jam dan terhadap pak bau tanah yang hebat menyembuhkan jam kita meminta, “Tolong ya betulkan jam pikun ini. Jarumnya sering maju mundur, bunyinya suka ngawur.” Semoga tukang membuatbetul jam tahu bahwa beliau sedang memiliki masalah dengan penggemar waktu * Sudah saatnya kita periksakan mata. Kepada doter mata kita bertanya, “Ada apa ya dengan mata saya, kok sering terbalik: tidak menyaksikan yang kelihatan, malah melihat yang tak kelihatan?” Praktis-mudahan dokter mata paham, ya, memang begitulah jikalau mata dipejamkan. …………………………………. (2003) *Sumber: Ibid, hlm 102. Contoh 4: Pasien* Karya: Joko Pinurbo Seperti pasien keluar masuk rumah sakit jiwa, kau bersungguh-sungguh keluar masuk telepon genggam, melacak jejak bunyi tak diketahui yang mengajakmu kencan di kuburan pada malam purnama: Aku pakai celana merah. Lekas tiba, ya. Kutengok ranjangmu: tubuhmu sedang membeku menjadi telepon genggam raksasa. (2006) *Sumber: Ibid, hlm 141. Demikianlah beberapa acuan puisi septima dalam bahasa Indonesia. Semoga bermanfaat dan bisa menambah wawasan bagi para pembaca sekalian, baik itu perihal puisi terutama, maupun bahasa Indonesia kebanyakan. Sekian dan terima kasih.
Sumber https://e-the-l.blogspot.com


EmoticonEmoticon