Selasa, 07 Juli 2020

Pemahaman Dan Pola Puisi Elegi

Sebelumnya, kita sudah mengetahui banyak sekali pola puisi dari macam-macam puisi  baru beradasarkan isinya, mirip pola puisi epigram, pola puisi balada, dan contoh puisi himne. Kali ini, kita juga akan mengetahui beberapa pola puisi dari salah satu macam puisi menurut isinya. Adapun salah satu macam puisi tersebut yaitu elegi. Puisi tersebut merupakan jenis-jenis puisi yang berisi ratapan ataupun kesedihan. Adapun beberapa contoh puisi elegi dalam bahasa Indonesia yaitu sebagai berikut. Contoh 1: Derai-Derai Cemara¹ Karya: Chairil Anwar cemara menderai sampai jauh terasa hari akan jadi malam ada beberapa dahan di tingkap merapuh dipukul angin yang terpendam aku orangnya bisa tahan sudah berapa waktu bukan kanak lagi tapi dulu memang ada sebuah bahan yang bukan dasar perkiraan lagi hidup hanyalah menangguhkan kekalahan tambah terasing dari cinta sekolah rendah dan tahu, ada yang tetap tak diucapkan sebelum pada akibatnya kita mengalah 1949 ¹Chairil Anwar, “Derai-Derai Cemara,” Kakilangit (Horison), April 2016, hlm 9. Contoh 2: Sia-Sia² Karya: Chairil Anwar Penghabisan kali itu kamu datang Membawa kembang berkarang Mawar merah dan melati putih Darah dan suci Kau tebarkan depanku Serta pandang yang memutuskan: untukmu Lalu kita sama terdiam Saling mengajukan pertanyaan: apakah ini? Cinta? Kita berdua tak mengerti Sehari kita bareng . Tak gampir-menghampiri. Ah! Hatiku yang tak ingin memberi Mampus kau dikoyak-koyak sepi. Februari, 1943 ²Ibid, hlm 4. Contoh 3: Kesaksian Akhir Abad³ Karya: WS Rendra Ratap tangis menerpa pintu kalbuku. Bau busuk darah mengganggu tidur malamku. O, tikar tafakur! O, bacin sungai tohor yang kotor! Bagaimana saya akan mampu membaca kondisi ini? Di atas atap kesepian akal asumsi yang digalaukan oleh lampu-lampu kota yang bertengkar dengan malam, saya menyerukan namamu: wahai para leluhur Nusantara! O, Sanjaya! Leluhur dari kebudayaan tanah. O, Purnawarman! Leluhur dari kebudayaan air! Kedua wangsamu telah bisa mempersekutukan budaya tanah dan air! O, Resi Kuturan! O, Resi Nirarta! Empu-empu tampan yang sarat kedamaian! Telah kau ajarkan tatanan hidup yang aneka dan makmur, yang dijaga oleh dewan huku adat. O, bagaimana saya mampu mengerti bahasa bising dari bangsaku ini? O, Kajao Laliddo! Bintang cemerlang Tana Ugi! Negarawan yang pintar dan bijaksana! Telah kamu ajarkan hukum permainan di dalam benturan-benturan impian yang aneka macam ragam di dalam kehidupan: ade, bicara, rapang, dan wari. O, lihatlah wajah-wajah berdarah dan rahim yang diperkosa muncul dari puing-puing tatanan hidup yang porak poranda. Kejahatan aktual tertawa tanpa pengadilan. Kekuasaan kekerasan berak dan berdahak di atas bendera kebangsaan. O, anak cucuku di zaman Cybernetic! Bagaimana kalian akan baca prasasti dari zaman kami? Apakah kami akan mampu menjadi pandangan baru bagi kesimpulan ataukah kami justru menjadi sumber masalah di dalam kehidupan? Dengan puisi ini aku bersaksi bahwa rakyat Indonesia belum merdeka. Rakyat yang tanpa hak hukum bukanlah rakyat merdeka. Hak aturan yang tidak dilindungi oleh forum pengadilan yang tinggi yakni aturan yang ditulis di atas air ………………………………. 31 Desember 1999, Candi Ceto 6 November 2000, Balikpapan ³WS Rendra, Doa Untuk Anak Cucu, (Yogyakarta, Bentang Pustaka:2016), hlm 34-35. Demikianlah beberapa acuan puisi elegi dalam bahasa Indonesia. Jika pembaca ingin mengetahui acuan puisi yang lain, pembaca bisa membuka postingan pola puisi singkat, teladan puisi 3 bait tentang Ibu, dan contoh puisi 3 bait perihal teman. Semoga berguna untuk para pembaca sekalian.
Sumber https://e-the-l.blogspot.com


EmoticonEmoticon

:)
:(
hihi
:-)
:D
=D
:-d
;(
;-(
@-)
:o
:>)
(o)
:p
:-?
(p)
:-s
8-)
:-t
:-b
b-(
(y)
x-)
(h)